Sebelum kita membahas saham yang memiliki prospek untuk investasi di tahun 2019/2020 ini, ada baiknya kita ikuti dan ketahui terlebih dahulu beberapa kondisi dan isu domestik serta global terkini apa saja yang ada saat ini.
Perang Dagang
Sengketa dagang antara Amerika dan Tiongkok jika terus berlanjut dapat semakin meningkatkan faktor ketidakpastian ekonomi global, khususnya ketidakpastian untuk kedua negara, mengingat perekonomian kedua negara adalah perekonomian terbesar di dunia yang diperkirakan menyumbang lebih kurang 40 % - 50 % dari perekonomian dunia, maka apa yang terjadi pada kedua negara itu akan memberi dampak pada perekonomian negara lain.
Perang dagang diantara kedua negara itu memiliki dampak sistemik, akumulatif dan seperti bola salju yang dapat semakin membesar, jika skalanya terus membesar dan memburuk serta dalam jangka waktu yang panjang, tentu akan mempengaruhi perekonomian kedua negara, para investor dapat menangguhkan rencana investasi karena situasi yang tidak kondusif, membuat harga barang menjadi mahal dan menekan daya beli karena saling mengenakan tarif tambahan, menurunkan tingkat pertumbuhan konsumsi, menurunkan laju pertumbuhan penciptaan lapangan kerja baru dan masih banyak efek beruntun lainnya yang pada akhirnya menahan laju pertumbuhan ekonomi, kondisi ini tidak tertutup kemungkinan akan berimbas ke negara lain sehingga dapat menganggu pertumbuhan dan stabilitas perekonomian dunia.
Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat, akan memberi dampak penurunan permintaan komoditi dunia, yang pada akhirnya akan memberi pengaruh pada harga, seperti Crude oil, tembaga, nikel, timah, biji besi, CPO, karet, batu bara, dan beberapa komoditi lainnya.
Namun negosiasi yang sedang berlangsung saat ini meskipun sepertinya sulit untuk mencapai kata sepakat yang diinginkan oleh kedua belah pihak dalam waktu dekat telah memberikan angin segar dan optimisme bagi pelaku pasar, meskipun kondisinya bisa saja berubah sewaktu-waktu, akan tetapi Tiongkok diperkirakan lebih mengutamakan jalur negosiasi untuk mengurangi ketegangan ini dan Amerika memiliki posisi tawar lebih dibandingkan dengan Tiongkok.
Amerika sendiri memberikan kontribusi terhadap ekspor Tiongkok hingga 19 % berdasarkan data tahun 2017 atau sekitar USD 430 Milyar. Neraca perdagangan Tiongkok mengalami surplus terhadap Amerika untuk tahun 2017 berkisar sebesar USD 275.81 Milyar hingga USD 350 milyar.
Saat ini total nilai barang yang berasal dari Tiongkok yang masuk ke Amerika yang dikenakan bea masuk jumlahnya sekitar USD 286 Milyar, sementara sebaliknya sekitar USD 99 Milyar. Pengenaan tarif terakhir yang dikenakan oleh Amerika yang berlaku efektif 24 Sep 2018 dengan nilai USD 200 Milyar telah dibalas kembali oleh Tiongkok dengan total nilai sebesar USD 60 Milyar.
Masih ada potensi bagi Amerika untuk menambah jumlah item barang yang dikenakan tarif import sekitar USD 144 milyar. Dengan asumsi ekstrim, katakanlah Tiongkok kehilangan pasarnya di Amerika lebih kurang sebesar 50 %, atau sekitar USD 215 – USD 250 Milyar, maka akan memberikan dampak penurunan terhadap PDB Tiongkok yang cukup signifikan, atau sekitar 1.7 % hingga 2 % dari total PDB Tiongkok, kecuali Tiongkok dapat segera mencari pasar pengganti Amerika dalam waktu yang sesegera mungkin, akan tetapi sepertinya sulit untuk mencapai itu dalam waktu kurang dari satu tahun.
Sebaliknya, Tiongkok memberikan kontribusi sebesar 8.6 % terhadap total ekspor Amerika atau lebih kurang sebesar USD 130 milyar, masih ada potensi penambah jumlah item yang dikenakan tarif sebanyak lebih kurang USD 31 milyar. Tiongkok memiliki amunisi yang terbatas dalam menerapkan tarif import bagi produk Amerika.
Di samping itu pertumbuhan ekonomi Tiongkok setidaknya dalam 10 tahun terakhir terus mengalami tekanan, sementara pertumbuhan ekonomi Tiongkok selama ini kebanyakaan bersumber dari investasi yang dibiayai oleh hutang meskipun kini telah membawa Tiongkok menjadi negara eksportir terbesar dunia.
Apabila hubungan dagang Tiongkok dengan Amerika terganggu, maka akan dapat menjadi pukulan keras bagi perekonomian Tiongkok, oleh karena itu Tiongkok mungkin akan memenuhi beberapa tuntutan dari Amerika seperti mengurangi defisit neraca perdagangannya terhadap Tiongkok dengan membuka pasar Tiongkok yang lebih besar, hanya saja jika hasil negosiasi belum memenuhi paling tidak sebagian tuntutan dari Amerika hingga gencatan senjata yang disepakati oleh kedua belah pihak pada tanggal 01 Maret 2019 ini, maka tidak tertutup kemungkinan ketegangan di antara keduanya akan kembali meningkat.
Hingga saat ini, negosiasi boleh dikatakan berjalan dengan baik, akan tetapi ada beberapa tuntutan dari Amerika yang sepertinya belum mendapat konfirmasi dari Tiongkok, khususnya yang terkait dengan kebijakan ekonomi, misalnya masalah subsidi, kebijakan transfer tekhnologi dan digital trading. Tiongkok diperkirakan tidak akan secepat itu merealisasikan semua tuntutan Amerika, karena Tiongkok juga tahu bahwa Trump juga membutuhkan Tiongkok saat ini, karena tahun depan akan menghadapi pemilu, tindakan yang terlalu keras terhadap Tiongkok akan menjadi pukulan balik bagi dirinya, karena akan memberikan dampak pada perekonomian dalam negerinya sendiri.
Kebijakan Ekonomi Tiongkok dan Permasalahannya
Pertumbuhan perekonomian Tiongkok terus menunjukan perlambatan dalam 10 tahun terakhir ini, hal utama yang perlu segera diselesaikan adalah sengketa dagang dengan Amerika karena apabila dibiarkan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang strategis dan menguntungkan kedua belah pihak, maka selain dapat mengancam perekonomian kedua negara juga dapat menyebar ke negara lain karena aksi proteksionisme secara alami akan terjadi, jika kondisi ini terjadi maka tidak tertutup kemungkinan resesi dan krisis keuangan dunia dapat terjadi, pasalnya sumber pertumbuhan dan pengerak ekonomi yang ada di masing - masing negara itu sebagian besar dibiayai melalui hutang, dengan aksi proteksionisme akan menyebabkan para pelaku ekonomi kehilangan pasar yang selama ini ada, yang selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan keuangan untuk membiaya dan membayar kembali hutangnya.
Dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, dan dengan pertumbuhan perekonomian nasional yang di angka sekitar 6.6 % yang cenderung terus mengalami pelemahan dikhawatirkan apabila telah mencapai level tertentu akan menjadi ancaman bagi stabilitas perekonomian dan politik.
Tiongkok sendiri diperkirakan selain harus menyelesaikan isu perang dagang dengan Amerika, juga akan melakukan beberapa hal seperti meningkatkan permintaan termasuk mempercepat proyek konstruksi, memotong pajak, dan mengurangi cadangan yang perlu disimpan di bank-bank hingga kemungkinan melakukan pelonggaran kebijakan moneter, misalnya menurunkan suku bunga.
Dampak yang mungkin dapat timbul dari beberapa langkah dan kebijakan yang akan ditempuh oleh Tiongkok untuk mempertahankan pertumbuhan perekonomiannya :
Membiarkan mata uangnya melemah terhadap dolar secara alami dengan tidak menaikan suku bunga salah satunya, mungkin dapat menjadi salah satu pilihan dalam melakukan kompensasi penggenaan tarif impor oleh Amerika, akan tetapi hal ini juga tidak akan terlalu membantu banyak, lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya, diperkirakan setiap penurunan 1 % nilai tukar hanya memberikan efektifitas sekitar 25 % - 40 % dari penurunan nilai tukar tersebut terhadap harga produk, mengingat besaran tarif impor yang dikenakan berkisar antara 10 % hingga 25 %, maka akan sulit untuk mengkompensasi kenaikan tersebut. lebih lanjut penurunan nilai tukar mata uang juga akan menekan laju pertumbuhan konsumsi, dan meningkatkan biaya impor.
Menurunkan pajak, khususnya terkait dengan biaya produksi, seperti bea masuk atas bahan baku yang diolah untuk diekspor, memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang orientasi ekspor, dan mengurangi bea ekspor, namun alternatif ini bukan tidak memiliki konsekuensi karena akan meningkatkan defisit fiskal, fiskal negatif yang semakin membesar menjadi bahan bakar pertumbuhan hutang, untuk jangka panjang kondisi ini tentu tidak baik bagi perekonomian, apalagi jika hutang itu dibiayai dengan mata uang asing, kecuali hasilnya dapat dikompensasikan dengan kenaikan pajak penghasilan.
Melepas obligasi Amerika yang dimilikinya, akan tetapi sepertinya ini mungkin akan menjadi langkah yang paling terakhir untuk dilakukan dan kecil kemungkinannya, yang mungkin saat ini dilakukan adalah mengurangi pembelian surat hutang Amerika, tujuannya mungkin memberikan tekanan pada anggaran Pemerintah Amerika, kondisi ini akan mendorong Amerika untuk mencari kreditur baru, jika Tiongkok menjual kepemilikan obligasi Pemerintah Amerika secara mendadak, hal ini akan membuat pasar obligasi panik, kemungkinan penjualan yang dilakukan oleh Tiongkok akan diikuti oleh kreditur lain sehingga membuat Yield obligasi Amerika akan meningkat tajam, jika ini terjadi, Amerika akan membutuhkan biaya ekonomi tinggi dalam menjalankan Pemerintahannya, alokasi anggaran mungkin akan mengalami perubahan yang signifikan, memberikan dampak negatif terhadap Investasi dan konsumsi, kredit macet mungkin saja dapat meningkat, tentu kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi Amerika, tapi bukan berarti tidak ada implikasi bagi Tiongkok, selain memukul nilai kepemilikan obligasi Tiongkok yang besar, juga akan memberikan implikasi negatif terhadap perekonomian global.
Selain itu, Tiongkok juga memiliki persoalan lain, meskipun Tiongkok memiliki semua faktor penyumbang pertumbuhan PDB, investasi, konsumsi dalam negeri, net dari ekspor dan import serta yang pasti pengeluaran Pemerintah, dan ketika menikmati pertumbuhan PDB dua digit karena kebijakan fiskal yang ekspansif, semua sektor menyumbang kontribusi yang signifikan atas pertumbuhan PDB, khususnya ekspor, menyumbang 40 % terhadap total PDB pada tahun 2008, Tiongkok berubah menjadi negara industri yang begitu pesat pertumbuhannya, begitu mudah menemukan produk made in Tiongkok di mana – mana sehingga mendorong kenaikan upah minimum menjadi 3 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Dengan asumsi 1 USD = 6.8 CNY, maka upah min di Tiongkok per bulan untuk tahun 2018 diperkirakan sekitar USD 355.8/bulan, jika dibandingkan dengan Vietnam, upah minimum di sana hanya sebesar USD 170/bulan dengan asumsi 1 USD = 23.340 VND, ini berarti upah minimum di Tiongkok 2.09 x dari pada di Vietnam. Bagaimana jika dibandingkan dengan Indonesia, upah minimum Indonesia dengan asumsi kurs Rp.14.500/USD maka akan lebih ekonomis dibandingkan Tiongkok, namun lebih tinggi dari pada Vietnam, hal ini tentu belum memperhitungkan faktor produktivitas. Era upah ekonomis sepertinya sudah akan mulai kurang menarik jika dibandingkan dengan negara Asia lain seperti Vietnam, Thailand dan Indonesia.
Lebih lanjut, laju pertumbuhan penjualan eceran Tiongkok selama 10 tahun terakhir juga terus menunjukan penurunan yang signifikan.
Cadangan devisa yang dimiliki terus mengalami penurunan sejak tahun 2014 mencapai angka USD 3.1 Triliun, meskipun kondisi ini masih sangat jauh dari kondisi yang mengkhawatirkan, akan tetapi trend penurunan ini perlu mendapat perhatian serius dari otoritas setempat, karena dapat menjadi sumber penyebab gangguan stabilitas ekonomi di Tiongkok kelak.
Tingkat inflasi di Tiongkok Selama 30 tahun terakhir masih menunjukan trend penurunan, akan tetapi selama satu tahun terakhir ini kecenderungannya meningkat dan relatif berada di atas rata-rata tahunan terakhir, kondisi ini juga perlu diperhatikan dalam beberapa tahun ke depan karena apabila berlanjut dapat merangsang peningkatan suku bunga, hal ini tentu akan menjadi beban tambahan bagi perekonomian Tiongkok jika itu terjadi, Kabar baiknya investor masih percaya dengan pasar dan perekonomian Tiongkok, tingkat yield obligasi bertenor 10 tahun stabil dan cenderung menunjukan trend penurunan, kondisi ini tentunya akan menguntungkan perekonomian Tiongkok.
Saat ini apa yang bisa ditawarkan oleh Tiongkok kepada investor dan apa yang dapat membuatnya tertarik ? Era upah ekonomis sepertinya sudah mulai kurang menarik, ataukah kebijakan fiskal yang longgar seperti pembebasan pajak yang pernah dilakukan sebelumnya ?
Rasanya sangat sulit bagi Tiongkok untuk mengembalikan pertumbuhan PDBnya kembali ke level dua digit dalam 5 tahun ke depan, dapat mempertahankannya di atas 6 % saja sudah sangat baik. Perlu diingat bahwa dalam 30 tahun terakhir, pembangunan hampir di segala sektor di Tiongkok sangat massif, seluruh infrastruktur dan kapasitas produksi terpasang dapat menjadi bumerang bagi Tiongkok apabila pertumbuhan PDB terus mengalami penurunan, dan tidak menutup kemungkinan Tiongkok dapat mengalami resesi dan krisis keuangan
jika hal ini terjadi, hutang yang terlanjur menggunung tentu perlu dibayar beserta bunganya, meskipun memiliki cadangan emas dan sumber daya alam yang besar tidak serta merta dapat menjamin kondisi itu.
Tiongkok perlu mencari sumber bahan bakar baru guna menopang pertumbuhan ekonominya, tidak hanya mengandalkan net ekspor saja mengingat pembangunan yang begitu hebat selama 30 tahun terakhir, sepertinya lubang-lubang bisnis dan kesempatan bisnis yang tersedia selama ini sudah mulai penuh terisi, Kondisinya sedang menuju titik puncak, meski masih tumbuh, akan tetapi mulai menunjukan kehabisan nafas.
Tanpa melakukan perubahan struktur ekonomi, rasanya sulit untuk kembali mengakselerasi pertumbuhan PDBnya kembali ke dua digit dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Kebijakan Suku Bunga The Fed
Kebijakan suku bunga The Fed seperti kita ketahui sangat memiliki pengaruh terhadap stabilitas perekonomian dunia. Kenaikannya tergantung pada perekonomian Amerika itu sendiri, The Fed akan terus menyesuaikan tingkat suku bunganya untuk mencegah perekonomiannya dari kondisi overheating jika laju penciptaan lapangan kerja terus membaik, inflasi meningkat, laju pertumbuhan ekonomi yang tumbuh pesat, tingkat upah yang meningkat dengan cepat dan beberapa indikator ekonomi lainnya yang menunjukan pertumbuhan positif yang terlalu cepat.
Kenaikan suku bunga The Fed dapat memberikan tekanan pada nilai tukar pada mata uang negara lain, salah satunya Rupiah, sehingga untuk mengurangi tekanan itu, biasanya akan diikuti oleh kenaikan suku bunga BI, kenaikan suku bunga BI tentu memiliki konsekuensi tersendiri, dapat meningkatkan biaya investasi yang sekaligus dapat mengurangi laju pertumbuhan investasi, menekan daya beli, meningkatkan biaya keuangan, mengurangi laju pertumbuhan lapangan kerja dan hal lainnya yang semuanya itu pada akhirnya dapat mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Perang dagang yang telah mulai berlangsung awal tahun 2018 sepertinya mulai memberikan dampak pada perekonomian Amerika, The Fed sepertinya akan mulai mempertimbangkan laju kenaikan suku bunganya di tahun 2019 ini, jika kondisinya memburuk, tidak tertutup kemungkinan The Fed akan mengevaluasi kembali laju peningkatan suku bunganya. Pengaruh suku bunga The Fed di tahun ini diperkirakan akan jauh berkurang dibandingkan tahun lalu.
Tembok Perbatasan Meksiko
Buntut permasalahan dari ketidaksepakatan antara Parlemen dengan Presiden diakhiri dengan penutupan Pemerintahan sementara/Government Shutdown, diperkirakan terdapat 800.000 jumlah pekerja Federal yang departemennya mengalami penutupan (Government shutdown), jika diukur berdasarkan tingkat upah/jam di Amerika yang berkisar sekitar USD 23/jam dengan jumlah jam kerja per orang sekitar 8 jam perhari, maka total upah yang seharusnya dibayar adalah sekitar USD 147.2 juta /hari.
Apabila lamanya shutdown berlangsung 1 minggu (5 hari kerja), maka nilainya diperkirakan sekitar USD 736 juta, hitungan ini memang sangat kasar sekali, akan tetapi paling tidak dapat dibayangkan berapa nilai perputaran ekonomi yang hilang, hal ini belum memperhitungkan apabila terdapat overtime, belum lagi efek penggandaan yang hilang, nilai ini memang kecil jika dibandingkan dengan PDB Amerika, namun jika shutdown berlangsung 4 minggu, maka diperkirakan nilainya akan mencapai USD 3.68 milyar, sudah sekitar 64 % dari anggaran yang diminta oleh Presiden Donald Trump untuk membangun tembok perbatasan.
Shutdown juga memilki dampak pada kehidupan para pekerjanya, upah dan gaji yang biasa mereka peroleh untuk membayar kartu kredit, hutang hipotik, membayar sewa menjadi terhambat, lebih lanjut tidak tertutup kemungkinan efek Government Shutdown ini dapat berdampak pada fasilitas dan pelayanan umum lainnya, seperti bandara, departemen pengolahan data, dan fasilitas umum lainnya.
Pemerintahan sendiri telah dibuka hingga 15 Februari ini sambil dilakukan negosiasi kembali mengenai pembangunan tembok perbatasan itu, namun yang penting di sini adalah akibat dari Government Shutdown dapat mengorbankan pertumbuhan perekonomian Amerika itu sendiri.
Kebijakan OPEC dan Supply Minyak Dunia
Negara OPEC memiliki kepentingan terhadap harga komoditi minyak bumi, karena pendapatannya masih sangat banyak tergantung pada minyak, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menyeimbangkan jumlah pasokan ke dalam pasar.
Disamping itu, kondisi politik di Venezuela dan Iran juga perlu mendapatkan perhatian, karena bila berdasarkan data 19 penghasil minyak terbesar dunia tahun 2013, Venezuela dan Iran menyumbang 7.6 % dari produksi 19 negara penghasil minyak terbesar.
Mengenai masalah nuklir Iran tergantung pada sikap dan kebijakan Amerika dalam hal ini Trump, Iran sebagai sebuah negara berdaulat merasa memiliki hak dalam menempatkan perangkat baik lunak maupun perangkat keras pada tempat yang diperlukan, dan berdasarkan perjanjian JCPOA bahwa seluruh kegiatan dan perkembangan nuklir di Iran akan diawasi secara ketat. Negara yang terlibat dalam perjanjian itu di antaranya : Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, dan Perancis ditambah dengan Jerman. (sumber : www.merdeka.com, 09 April 2018). Amerika sendiri dikabarkan mungkin akan menarik diri dari perjanjian itu.
Kebijakan sanksi ekonomi dan pembatasan penjualan minyak Iran ke pasar internasional oleh Amerika bisa berdampak terhadap kekuatan militer Iran. Sama halnya dengan Venezuela, AS telah menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan minyak milik negara Venezuela, PdVSA, dalam upaya yang meningkat untuk menekan Nicolás Maduro agar menyerahkan kekuasaan kepada Juan Guaido, yang sekarang diakui oleh AS dan sejumlah negara lain sebagai presiden sah negara tersebut (https://www.voaindonesia.com/a/as-umumkan-sanksi-terhadap-perusahaan-minyak-milik-negara-venezuela/4764290.html)
Amerika sendiri kini telah menjadi produsen minyak terbesar dan nomor 1 di dunia, juga memiliki kepentingan terhadap harga minyak, harga yang terlalu murah telah memukul perekonomiannya, Ketika harga minyak mengalami koreksi yang begitu dalam hingga mencapai angka USD 30 per barelnya pada awal tahun 2016, kondisi nilai tukar USD terhadap 6 mata uang utama lainnya juga mengalami pelemahan, demikian juga ekspor, pertumbuhan PDB mengalami perlambatan yang cukup signifikan, sebaliknya harga minyak yang terlalu tinggi akan memicu inflasi ke tingkat yang lebih tinggi dengan lebih cepat, kondisi ini akan menjadi alasan bagi The Fed untuk kembali menyesuaikan suku bunganya jika hal ini terjadi.
Ekspor minyak dan produk turunan kontribusinya mencapai sekitar 9 % terhadap total ekspor Amerika pada tahun 2017, sisanya adalah bukan minyak, seperti pesawat terbang, alat elektronik, permesinan dan sebagainya.
Faktor - faktor inilah yang dapat mempengaruhi jumlah pasokan minyak di pasar international, yang pada akhirnya akan dapat mempengaruhi harga minyak dunia, pertumbuhan harga minyak yang tinggi dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi sekaligus inflasi, kondisi ini akan menjadi alasan bagi The Fed untuk menyesuaikan tingkat suku bunganya apabila inflasi melambung tinggi melebihi ekspektasi, Kenaikan yang terlalu tinggi dan cepat juga bukan merupakan hal yang positif, demikian juga sebaliknya.
Brexit Dan Perekonomian Kawasan Eropa
Pertumbuhan PDB Inggris sendiri selama 5 tahun terakhir juga terus menunjukan pelemahan, selain itu, Inggris juga sedang menghadapi masalah Brexit yang hingga kini belum mencapai kesepakatan yang mana apabila Ingris keluar dari Uni Eropa tanpa ada suatu kesepakatan yang jelas, diprediksi pertumbuhan perekonomiannya akan mengalami kontraksi yang cukup mengkhawatirkan.
Sementara itu Theresa May diperkirakan akan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Uni Eropa dalam beberapa hari mendatang setelah anggota parlemen mendukung revisi proposalnya untuk bernegosiasi dengan UE.
Salah satu hal yang menjadi isu penting adalah tentang perbatasan dan perlintasan di Irlandia (yang memisahkan Republik Irlandia anggota Uni Eropa; dengan Irlandia Utara anggota persemakmuran Inggris) atau populer dikenal dengan istilah "The Irish Backstop".
Uni Eropa sendiri sepertinya tidak akan mengubah teks hukum yang telah disepakati sebelumnya dengan PM Inggris, termasuk perihal "The Irish Backstop". Batas waktu yang dimiliki saat ini adalah hingga tanggal 29 Maret 2019 ini.
Sementara untuk kawasan Uni Eropa selama tahun 2018 lalu juga memperlihatkan penurunan pertumbuhan PDB, dan laju penurunannya terbilang cukup mengkhawatirkan, jika kondisi ini terus berlanjut pada tahun ini hingga tahun depan, tidak tertutup kemungkinan kawasan Uni Eropa dapat mengalami resesi ekonomi, ditambah lagi dengan masalah Brexit yang apabila tidak ada penyelesaian yang jelas, kondisi ini bisa saja ikut menyeret pertumbuhan PDB Amerika, mengingat Amerika memiliki hubungan dagang yang cukup besar dengan kawasan ini.
Pemilu April 2019
Stabilitas politik menjadi salah satu syarat yang sangat penting guna menjamin stabilitas dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti yang kita ketahui dalam beberapa bulan ke depan Indonesia akan segera melaksanakan pesta demokrasi. Pesta demokrasi yang berjalan dengan aman dan tertib menjadi syarat utama, meskipun tentu masih ada banyak hal lain yang dapat ikut menentukan arah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, seperti kebijakan yang akan diambil setelah Pemerintahan baru yang terpilih, apakah kebijakan pembangunannya melanjutkan dan menyempurnakan atau mengganti kebijakan lama dengan memulai dari yang baru, hal ini juga sangat ikut menentukan arah perekonomian suatu negara.
Kondisi Perekonomian Nasional
Pertumbuhan perekonomian Indonesia sendiri terus menunjukan perbaikan sejak pertumbuhan terendahnya di kuartal II 2015, Kebijakan perekonomian yang menekankan pada pembangunan infrastruktur memang belum memberikan dampak maksimal saat ini bagi perekonomian nasional, namun perlu dingat bahwa untuk menunjang pertumbuhan perekonomian suatu negara dibutuhkan infrastruktur yang memadai, bisa kita bayangkan bagaimana menyalurkan hasil produksi apabila suatu daerah tidak memiliki infrastruktur jalan dan pelabuhan yang memadai, tentu akan membutuhkan biaya logistik yang sangat mahal sehingga menjadikan harga suatu barang menjadi tidak terjangkau dan tidak kompetitif, bagaimana investor mau melakukan investasi pada suatu daerah apabila daerah itu tidak memiliki infrastruktur tenaga listrik yang memadai, bagaimana lapangan kerja dapat tercipta pada suatu daerah apabila investasi tidak ada atau rendah atau kualitas sumber dayanya belum memenuhi kebutuhan industri, bagaimana dengan keterampilan sumber daya manusia dapat meningkat jika infrastruktur untuk pendidikan sangat minim atau untuk untuk pergi ke sekolah saja susah karena akses jalan yang buruk, bagaimana perekonomian dapat tumbuh jika investasi rendah, lapangan kerja sedikit, dan perlu dicatat dan ingat bahwa memang dampak pembangunan infrastruktur kepada perekonomian sifatnya jangka panjang.
Selain itu, hal penting lainnya adalah tingkat inflasi, tingkat inflasi yang rendah dan terjaga merupakan salah satu syarat untuk menciptakan pertumbuhan perekonomian yang stabil, diharapkan setelah Pemerintahan baru terpilih nanti terbentuk, tingkat inflasi ini dapat tetap terus dijaga.
Sekarang kita lihat nilai tukar Rupiah, nilai tukar Rupiah menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat inflasi dan stabilitas perekonomian kita, meskipun nilai tukar Rupiah sedikit mengalami tekanan karena faktor eksternal berupa normalisasi kebijakan moneter di Amerika, namun diperkirakan dampaknya tidak terlalu besar terhadap kenaikan harga, mengingat tekanan yang terjadi saat itu segera dinormalisasikan dan diminimalisir oleh otoritas yang berwenang.
Melihat kondisi dan isu global saat ini, yang cenderung memberikan sentimen negatif pada laju pertumbuhan perekonomian, diperkirakan kecil kemungkinan faktor eksternal berupa normalisasi kebijakan moneter di Amerika yang sempat menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika pada tahun lalu akan kembali terjadi pada tahun ini, paling tidak hingga akhir semester I tahun ini.
Faktor lain yang perlu dikhawatirkan yang dapat menekan nilai tukar Rupiah adalah neraca perdagangan kita, yang cenderung masih defisit atau negatif hingga saat ini. Isu global yang disebutkan di atas dapat memberikan ruang defisit yang semakin besar, pasalnya Indonesia masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap hasil ekspor komoditas, sementara negara tujuan ekspor cenderung terus mengalami isu pelemahan pertumbuhan perekonomian, disamping itu sumber defisit neraca perdagangan beberapa waktu belakangan ini bersumber dari sektor migas karena Indonesia harus melakukan impor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energinya lantaran produksi dalam negeri tidak mencukupi, oleh karena itu dalam jangka pendek perlu dilakukan peningkatan pengawasan terhadap kegiatan impor, terutama terhadap barang - barang yang tidak memberikan dampak positif langsung terhadap pertumbuhan perekonomian, seperti impor kendaraan mewah misalnya. Disamping itu guna menekan laju impor, dibutuhkan kebijakan yang dapat mendorong dan merangsang sumber perekonomian yang ada di dalam negeri agar dapat bersaing baik secara kualitas maupun secara kuantitas, misalnya bagaimana caranya agar pemanfaatan CPO yang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor kita dapat memiliki nilai tambah lebih, termasuk pengembangan pemanfaatannya masif terutama ditujukan sebagai subtitusi atas barang impor, khususnya yang berkaitan dengan sumber energi, selain itu perlu langkah konkrit agar seluruh sumber daya yang ada di Indonesia dimanfaatkan secara maksimal terlebih dahulu untuk kepentingan dalam negeri, apabila ada sisanya baru dijual ke luar negeri. Saat ini Pemerintah telah melakukan beberapa langkah penting dan strategis untuk tetap menjaga pertumbuhan perekonomian nasional di tengah trend pelemahan pertumbuhan perekonomian global, meskipun mungkin dirasakan belum maksimal akan tetapi arahnya dinilai sudah tepat dan diharapkan kebijakan yang saat ini telah dilakukan dapat terus dilakukan oleh Pemerintahan baru terpilih nanti, dan terus menyempurnakannya dan melakukan berbagai perbaikan yang dianggap perlu.
Selanjutnya tingkat suku bunga, akibat adanya normalisasi moneter di Amerika yang telah memberikan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah sehingga bank sentral perlu melakukan langkah dan kebijakan penyesuaian suku bunga, penyesuaian ini tentunya dapat memberikan dampak pada laju pertumbuhan perekonomian, kita belum tahu secara pasti berapa besar dampaknya terhadap pertumbuhan perekonomian kita, akan tetapi sepertinya kenaikan suku bunga sudah berada pada puncaknya, kalaupun The Fed kembali menaikan suku bunganya yang kemungkinannya semakin kecil saat ini (tergantung kondisi perekonomiannya), diperkirakan maksimal hanya 2 kali di paruh kedua tahun ini.
Proyek listrik nasional 35000 MW
PLN dan pihak swasta terus mengejar target proyek pembangunan pembangkit listrik 35000 MW, saat ini diperkirakan sudah ada sekitar 8 % atau 2800 MW dari target 35 ribu MW yang telah commercial operation, PLN sendiri telah membangun sekitar 500 MW, akan tetapi guna membantu neraca perdagangan, diperkirakan dari total 35 ribu MW itu, akan ada penundaan sekitar 15.200 MW, yang rencana pelaksanaanya mundur hingga 2021 bahkan 2026. Dengan demikian, berarti ada sekitar 42 % yang setidaknya telah dan akan dilaksanakan antara tahun 2018 hingga tahun 2020 nanti.
Porsi PLN untuk proyek 35 ribu MW ini sendiri diperkirakan akan ada pemangkasan menjadi sekitar hanya 5 ribu MW, tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk terlibat dalam pembangunannya, dengan demikian masih ada sekitar 4500 MW porsi PLN yang akan telah dilaksanakan hingga tahun 2020 nanti.
SAHAM YANG DIPERKIRAKAN MEMILIKI PROSPEK DI 2019/2020
KBLI (KMI Wire and Cable Tbk)
KBLI merupakan salah satu produsen kabel listrik yang ada di Indonesia, berdasarkan laporan keuangan emiten per tanggal 30 September 2018, susunan pemegang saham KBLI adalah sebagai berikut :
Jumlah saham yang dimiliki oleh publik perlu menjadi perhatian kita, jika jumlah terlalu sedikit maka akan menjadi kurang menarik, untuk KBLI jumlah saham yang dimiliki oleh publik mencapai 44.93 % atau berkisar sekitar 1800 juta lembar saham yang terdiri dari 3 jenis seri saham. Berdasarkan harga pasar pada tanggal 4 Februari 2019 dan laporan keuangan emiten per tanggal 30 September 2018, PBVnya dihitung berkisar 0.65, untuk kondisi saat ini harganya mungkin dirasa masih belum terlalu murah, jadi sepertinya masih perlu menunggu untuk mencapai harga ideal untuk dapat mulai mengakumulasi sambil melihat kondisi perkembangan pasar.
Posisi keuangan perusahaan per laporan 30 September 2019 adalah sebagai berikut :
Manajemen Persediaan
Beberapa hal yang patut kita perhatikan dari laporan posisi keuangan perusahaan, yang pertama adalah jumlah hari persediaan, untuk laporan per 30 September 2018, inventory days perusahaan diprediksi mencapai 4.32 bulan, posisi ini perlu diperhatikan karena selain waktunya terlalu lama, juga selama tahun 2014 hingga 2016 terakhir belum pernah mencapai waktu selama ini. DSI yang terlampau tinggi akan menjadi beban keuangan perusahaan, namun diharapkan posisi pada akhir tahun akan dapat menjadi lebih baik.
Manajemen Piutang
Lebih lanjut, manajemen piutang dagang perusahaan juga perlu kita perhatikan, rata-rata DSO perusahaan untuk periode 30 September tahun 2018 di sekitar 2.49 bulan, posisi ini mungkin masih dapat ditolerir meskipun sudah menunjukan perbaikan jika dibandingkan dengan tahun lalu dan dengan DPO selama beberapa tahun terakhir yang mana defisitnya semakin menyempit.
Resiko Likuiditas dan Hutang
Selanjutnya untuk likuiditas perusahaan, posisi likuiditas perusahaan patut diapresiasi karena apabila kita perhatikan ratio likuiditas dan dari rincian aktiva lancar perusahaan serta kita bandingkan dengan rincian total kewajiban lancar perusahaan, tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan hingga posisi per 30 September 2018.
Posisi piutang dagang perusahaan sebesar Rp.715 milyar, jika dibandingkan dengan hutang dagang perusahaan yang nilainya sebesar Rp.580 milyar, kondisinya dalam keadaan normal dengan ratio sebesar 1.23 kali.
lebih lanjut, jika kita lihat dari kelompok hutang perusahaan, KBLI selama 5 tahun terakhir, pengelolaanya dapat dikatakan baik sekali, rata-rata DER selalu di bawah 1 x.
Resiko Beban Keuangan
Akan tetapi untuk tahun 2018, terlihat adanya peningkatan resiko finance cost sebagai dampak dari kenaikan harga bahan baku yang mulai terjadi pada tahun 2017 hingga 2018 ini, namun diperkirakan kondisinya akan membaik pada periode berikutnya dan paling tidak hingga semester I tahun 2019 ini.
Beban keuangan yang telah dibayarkan hingga periode 30 September 2018 berjumlah lebih kurang Rp.23 milyar.
Permodalan
Selain itu, dari sisi modal perusahaan, selama lima tahun terakhir selalu menunjukan pertumbuhan yang positif, hal ini menandakan bahwa usaha yang dilakukan selama ini dalam keadaan yang baik. Saldo modal perusahaan pada tahun 2014 sebesar Rp.940 milyar, berkembang menjadi empat kali lipat setelah empat tahun, atau rata-rata pertumbuhannya 25 % per tahun.
jika berdasarkan laporan permodalan yang disampaikan oleh perusahaan dan berdasarkan hasil pengamatan kami, tidak ada saldo yang perlu dikhawatirkan pada susunan modal perusahaan per 30 September 2018.
Resiko Valutas Asing
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan per 30 Sep 2018, perusahaan memiliki resiko valuta asing dengan rincian yang dijabarkan sebagai berikut :
Ratio antara aktiva yang dimiliki dan pasiva yang dimiliki oleh perusahaan dalam mata uang asing adalah 0.38, menurut kami angka idealnya berkisar di angka 0.75 agar ketika terjadi gejolak nilai tukar, resiko yang dimiliki oleh perusahaan akan relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi yang dimiliki oleh perusahaan saat ini, oleh karena itu manajemen perlu memberikan perhatian pada resiko ini, dan menurut kami investor ketika berinvestasi pada saham ini perlu memantau perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, khususnya USD.
Arus Kas Perusahaan
Informasi arus kas perusahaan per 30 September 2018 disajikan sebagai berikut :
Untuk arus kas yang bersumber dari operational yang dihasilkan dari kegiatan usaha inti perusahaan berjumlah Rp.76 milyar, sebagian dipakai untuk membayar beban keuangan yang berjumlah lebih kurang Rp.23 milyar, atau sekitar 30 % dari arus kas bersih hasil usaha inti perusahaan, seperti yang dijelaskan di atas, bahwa beban bunga perlu menjadi perhatiaan manajemen terutama di saat kondisi harga bahan baku mengalami kenaikan, namun meskipun demikian, arus kas operational perusahaan masih positif sekalipun dikurangi dengan dana yang diperoleh dari hasil restitusi pajak.
Lebih lanjut, apabila dilihat dari sisi investasi, terdapat pengeluaran dana untuk melakukan akuisisi perusahaan, yaitu PT LANGGENG BAJA PRATAMA, dengan nilai akuisisi total lebih kurang Rp.163 milyar. Diharapkan dengan adanya akuisisi perusahaan baja ini dapat membantu perusahaan dari sisi biaya produksi, meskipun saat ini kondisi perusahaan yang diakuisisi dalam keadaan merugi. Perusahaan diharapkan dapat memberdayakan PT LANGGENG BAJA PRATAMA yang telah diakuisisi ini sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha perusahaan nantinya.
Sementara untuk arus kas dari aktivitas pendanaan, selain perusahaan menggunakannya untuk pembayaran deviden, perusaahaan juga terlihat menambah hutang pembiayaan sebesar lebih kurang Rp.44 milyar, penambahan ini perlu dimonitor mengingat tentunya akan ada biaya keuangan yang harus dibayar oleh perusahaan, apalagi jika penambahan ini tidak memberikan dampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Penjualan
Lebih lanjut, berdasarkan data keuangan yang dilaporkan untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 September 2018, terdapat sekitar 50 % penjualan perusahaan ditujukan kepada PLN. Penjualan perusahaan juga terus menunjukan pertumbuhan yang positif meskipun ketika sekitar tahun 2014 hingga 2015 pertumbuhan perekonomian nasional tidak begitu menggembirakan.
Pertumbuhan penjualan perusahaan di tahun 2015 mencapai sekitar 11.7 % dan mengalami pelemahan di pada tahun 2016 menjadi sekitar 5.6%, karena kondisi perekonomian secara umum memang tidak terlalu menggembirakan pada waktu itu, namun kembali mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan di level 13.3 %.
Untuk tahun 2018 sendiri diperkirakan pertumbuhan penjualan yang akan dicapai oleh perusahaan di level sekitar 8.4 % plus minus 1 %, tekanan terhadap kinerja penjualan perusahaan masih terasa di tahun 2018, namun demikian, apabila berdasarkan data penjualan selama 5 tahun terakhir, dan mempertimbangkan proyek listrik nasional yang sebesar 35 ribu MW meskipun telah dilakukan penjadwalan ulang sebesar 50 %, serta melihat komposisi penjualan yang hampir 50 % disumbangkan dari PLN, maka seharusnya tidak ada isu yang perlu dikhawatirkan setidaknya dalam 2 tahun ke depan untuk masalah pencapaian dan pertumbuhan penjualan perusahaan.
Keuntungan Perusahaan
% gross margin perusahaan sendiri bervariatif, tergantung pada harga komoditas, mengingat produk yang dihasilkan oleh perusahaan adalah kabel listrik, yang mana bahan bakunya sangat berkaitan erat dengan harga minyak bumi, tembaga, nikel dan karet. Ketika pada tahun 2016 yang mana harga rata-rata minyak bumi dan komoditas lainnya mengalami tekanan yang cukup hebat telah memberikan sentimen positif terhadap kinerja gross margin perusahaan, gross margin perusahaan dapat mencapai 19 % pada tahun 2016 dan tumbuh sebesar 87 % jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kemudian kembali mengalami tekanan pada tahun 2017 menjadi sebesar 16.2 % di mana ketika harga rata-rata minyak bumi dan komidtas lainnya kembali mengalami kenaikan setelah tahun 2016.
Lebih lanjut, apabila melihat kondisi perekonomian global di atas, yang penuh ketidakpastian, trend penurunan PDB yang dialami bukan hanya Tiongkok, akan tetapi juga mulai dirasakan oleh perekonomian yang berada di kawasan Eropa, ditambah lagi isu perang dagang antara Amerika dan Tiongkok serta beberapa faktor lainnya, diperkirakan harga minyak bumi dan komoditas lain yang menjadi bahan baku perusahaan untuk tahun ini tidak akan lebih rendah dari harga rata-rata antara tahun 2015-2017, akan tetapi mungkin akan sedikit berada di bawah harga rata-rata tahun 2018 yang lalu, perkiraan ini setidaknya hingga semester I berakhir. (kecuali dalam kurun waktu ini, Iran dan Venezuela diembargo dan diberi sanksi perekonomian secara penuh oleh Amerika).
Sementara pengelolaan terhadap biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sehubungan dengan biaya administrasi dan penjualan dapat dikatakan relatif baik, kemudian untuk EBT kita perlu memperhatikan perkembangan nilai tukar Rupiah dan biaya bunga yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
Jadi ketika ingin berinvestasi di saham ini, maka ada beberapa hal yang harus kita perhatikan :
Apabila harga rata-rata minyak bumi untuk tahun ini tidak lebih dari USD 60/barel dan tembaga tidak lebih dari 2.95 USD/pound dalam kurun waktu selama minimal semester I tahun ini, maka diperkirakan gross margin akan tumbuh minimal sekitar 11-14 % dibandingkan dengan tahun lalu atau menjadi minimal sekitar 13.2 %, akan tetapi apabila harga rata-rata minyak bumi melewati USD 60/barel dan tembaga melampaui USD2.95/pound dalam kurun waktu lebih dari dua bulan, maka peluang investasi di saham ini menjadi tidak menarik lagi. Target harga yang akan dicapai untuk investasi di KBLI di angka sekitar Rp.1000/lembarnya.
Tingkat hutang pembiayaan, produktivitasnya dan beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan.
Nilai tukar mata uang Rupiah, terutama terhadap USD, jika bergejolak dapat meningkatkan resiko investasi.
Tingkat persediaan yang dimiliki oleh perusahaan, jika angkanya terus menunjukan peningkatan, maka perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut.
Anda mungkin dapat mulai melakukan akumulasi beli setelah kuartal I tahun ini dan ketika harganya telah di bawah Rp.300/lembar atau dapat saja mengakumulasinya di bawah Rp.325/lembar sebelum kuartal I berakhir jika Anda merupakan investor yang cukup agresif.
Perlu diingat bahwa seluruh data dan informasi serta analisa dan pendapat yang disampaikan bisa saja mengalami kesalahan atau kurang tepat , oleh karena itu kebijakan investor sangat disarankan.
Anda juga dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan, konsultasi hingga memberikan opini atau pendapat di sini (Gratis !)
Untuk dapat mengikuti perkembangan asumsi, klik di sini
Selamat berinvestasi dan sampai jumpa lagi segera di part 2 tentang Saham yang diprediksi prospek di 2019/2020
Comments