Selama tahun 2018 Rupiah terus mengalami tekanan terhadap Dolar Amerika, di awal tahun 2018 Dolar Amerika dihargai sekitar Rp.13.500, dan terus mengalami kenaikan hingga mencapai sekitar Rp.15.226 untuk satu Dolar Amerika, kondisi ini disebabkan adanya faktor kebijakan normalisasi moneter di Amerika dengan meningkat suku bunga acuan The Fed sebanyak 4 kali pada tahun itu, sehingga menyebabkan arus modal keluar dari Indonesia, meskipun kenaikan suku bunga The Fed pada waktu itu telah direspon segera oleh BI.
Setelah bulan Oktober 2018 Rupiah sudah mulai menunjukan penguatan terhadap Dolar Amerika, lantas faktor apa yang menyebabkan penguatan yang terjadi hingga saat ini ?
Indikasi pelemahan pertumbuhan perekonomian dunia semakin tampak nyata ,dimulai dari Negara Tiongkok yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika, pertumbuhan perekonomiannya terus menunjukan penurunan paling tidak selama 10 tahun terakhir ini.
Demikian juga dengan Jepang dan Uni Eropa mulai mengalami kondisi yang serupa, termasuk Amerika pada akhir tahun 2018 lalu yang kemungkinan akan berlanjut pada kuartal I tahun ini karena adanya Shutdown Government yang sudah berlangsung lebih dari satu bulan sebagai akibat belum tercapainya kesepakatan mengenai dana pembangunan tembok di perbatasan Meksiko.
Selain itu Kenaikan suku bunga The Fed yang terjadi sebanyak 4 kali pada tahun lalu disinyalir juga menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan pertumbuhan ekonomi di Amerika, ditambah lagi dengan perang dagang antara Amerika dan Tiongkok selama tahun 2018 lalu yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya telah memberikan dampak pada perekonomian kedua negara tersebut yang mana akibat perang dagang dengan cara saling mengenakan tarif impor tersebut yang jumlahnya hingga ratusan milyar Dolar Amerika telah mengakibatkan kenaikan harga barang impor di masing-masing kedua negara, menimbulkan ketidakpastian dalam berinvestasi, ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang saling menyerang di antara kedua negara tersebut, belum lagi ditambah masalah Brexit yang hingga kini belum mencapai kesepakatan yang mana apabila Ingris keluar dari Uni Eropa, diprediksi pertumbuhan perekonomiannya akan mengalami kontraksi yang cukup mengkhawatirkan.
Pelemahan perekonomian yang dialami oleh negara - negara dengan perekonomian terbesar di dunia itulah yang akan menjadi faktor pendorong bagi bank sentral masing-masing negara untuk mengevaluasi kembali kebijakan moneter yang ada saat ini. Seperti The Fed, dengan kondisi yang disebut di atas, sepertinya kemungkinan untuk menaikan suku bunga kembali di tahun ini semakin kecil, apalagi yang sebelumnya diramalkan akan mengalami kenaikan 3- 4 kali lagi di tahun ini, dengan kondisi tersebut, kemungkinan yang semakin besar malah menurunkan suku bunga, atau tidak menaikan suku bunga atau kalaupun menaikan maksimal sekitar satu hingga dua kali tahun ini.
Kebijakan pelonggaran moneter bukan hanya akan dialami dan dilakukan oleh Amerika dan Tiongkok, kemungkinan besar juga akan disusul oleh Jepang dan Uni Eropa untuk mendorong pertumbuhan perekonomiannya.
Potensi penurunan suku bunga inilah yang dibaca oleh pasar sehingga mendorong modal asing masuk ke negara berkembang dengan suku bunga yang sudah terlanjur tinggi karena penyesuaian terhadap normalisasi kebijakan monoter Amerika tahun lalu, salah satunya Indonesia, inilah yang menyebabkan Rupiah terus mengalami penguatan karena diserbu oleh dana asing, masuk ke pasar saham dan pasar obligasi. Akan tetapi penguatan Rupiah diperkirakan sifatnya hanya jangka pendek hingga BI kembali menyesuaikan suku bunganya apabila menurut BI nilai Rupiah sudah mencapai nilai wajarnya dan atau tergantung seberapa dalam penurunan suku bunga yang dan akan terjadi di Amerika, Tiongkok, Jepang dan Uni Eropa meskipun masih ada faktor lain selain suku bunga yang dapat mempengaruhi penguatan Rupiah terhadap Dolar Amerika. Sepertinya era suku bunga tinggi sudah akan berakhir dan sudah mencapai puncaknya dan akan disambut dengan era penurunan suku bunga
Comments